Press "Enter" to skip to content


Ahjussi

Oleh: Yusran Darmawan (Bloger, Penulis Buku dan Pelatih Kucing)

Ketika Shin Tae Yong ditunjuk menjadi pelatih timnas Indonesia, saya tak terlalu peduli. Saya pikir dia tak berbeda dengan pelatih lainnya. Namun seorang kawan yang bekerja di Google meyakinkan saya kalau dia berbeda.

Kawan itu menunjukkan beberapa wawancara dengan Shin Tae Yong. Rupanya, Shin datang bersama asisten pelatih dari Korea.

Saya tertarik dengan Lee Jae Hong, pelatih fisik yang dibawa Shin Tae Yong. Dia ikut mendampingi Shin sebagai pelatih fisik Timnas Korsel di Piala Dunia Rusia, tahun 2018.

Lee menjelaskan kelemahan fisik timnas Indonesia. Dia mengamati banyak pertandingan. Timnas hanya sanggup bermain selama satu babak. Di babak kedua, stamina mulai turun. Mental juang sudah hilang. Selain itu, timnas selalu kalah duel. Sekali disenggol, langsung tumbang.

Menurutnya, kecepatan pemain Indonesia dan Korea hampir sama. Yang membedakan adalah kekuatan (power), body balance, dan endurance (daya tahan). Indonesia lemah di banyak sisi.

Dia juga melihat mental. Menurutnya, pemain Indonesia terlalu baik dan pasrah. Dalam sepakbola, kebaikan itu tidak berguna. “Anda harus melihat setiap pertandingan seperti perang. Di situ, Anda harus punya semangat menang dan mengalahkan. Harus siap bertarung. Kalau perlu membunuh,” katanya.

Lee melihat secara holistik. Menurutnya, fisik dipengaruhi oleh tiga hal yakni gaya hidup pemain, budaya, serta pola hidup. Dia menyoroti pemain yang suka makan gorengan dan nasi. Menurutnya, budaya makan mempengaruhi fisik pemain. Untuk kuat dan berotot butuh makan protein yang banyak.

Di level klub, pemain tidak mengonsumsi makanan bergizi. Tanpa banyak makan protein dan makanan bergizi, maka kebutuhan energi tidak akan cukup. Otot tidak bisa terbentuk. Padahal, sepakbola adalah olahraga fisik. Pemain harus siap berduel, siap main keras dengan kaki.

Lee tidak memahami kalau pemain bola di Indonesia kebanyakan berasal dari masyarakat dengan kategori ekonomi menengah ke bawah. Mereka bermain bola di tengah desakan ekonomi. Bola adalah malaikat yang memberi harapan bagi keluarga.

Setelah identifikasi, pelatih Shin dan Lee membuat daftar latihan. Porsi utama latihan adalah fisik. Rapor semua pemain dipantau. Mereka ditargetkan bisa bermain keras dan tahan banting saat di lapangan.

Para pemain diberikan weight training. Postur tubuh membesar. Kemampuan juga terus membaik. Pemain timnas diminta kurangi karbohidrat, perbanyak makan sayuran dan protein. Pemain juga dilarang makan gorengan, sebab di situ ada lemak-trans yang tidak baik bagi tubuh. Idealnya, pemain bola hanya memiliki persentase lemak tubuh sebesar 6 – 12 persen.

Saat Training Center (TC) di Kroasia, fisik pemain mulai membaik. Rata-rata lemaknya sudah di kisaran 6-12 persen, mirip dengan pemain Korea. Saat itulah, pelatih Shin mulai mengajarkan filosofi bermain bola, juga strategi menang, sesuatu yang hilang di timnas Indonesia selama bertahun-tahun.

Di ajang Piala AFF, timnas ini ikut bertanding. Datang sebagai pasukan muda, tim ini tak punya target. Bahkan mantan pemain senior Malaysia, Safee Sali, sempat memandang remeh tim muda yang minim pengalaman ini. Tim ini diprediksi hanya akan menjadi sasaran tim-tim besar di babak penyisihan.

Siapa sangka, tim ini justru menggila. Kekuatan pemain muda itu malah menggulung permainan Malaysia dan menahan imbang Vietnam yang fisiknya dilatih para juru latih Korea selama bertahun-tahun.

Timnas sanggup bermain selama 90 menit, dengan mental yang terus membaik. Dalam pertandingan melawan Singapura, penjaga gawang Nadeo, yang disebut netizen seperti Kepa, malah bisa menggagalkan penalti di menit krusial.

Kini, timnas itu mulai menatap final. Mereka yang tadinya dianggap zero, kini mulai menjadi hero. Berkat para ahjusi atau pria paruh baya Korea, yakni jajaran pelatih di bawah Shin Tae Yong, mereka siap untuk bermain di final.

Shin Tae Yong mulai dicintai banyak orang. Kehadirannya di Indonesia mirip drama Korea. Setelah memegang Timnas Korea, dia bersedia melatih Timnas Indonesia demi membantu ekonomi keluarga. Kini dia mulai dicintai publik Indonesia. Banyak yang menyapa “Kamsahammida” hingga “Saranghaeyo.” We love you Coach!

Apapun hasil pertandingan di final, tak begitu penting lagi. Sebab tim ini telah menunjukkan motivasi, daya tahan, dan rasa lapar akan kemenangan, hal-hal yang selama ini hilang. Mereka siap bertempur habis-habisan.

Di satu media, Asnawi Mangkualam, putra pemain legendaris PSM Makassar, Bahar Muharram, mengaku siap bertempur. “Kalaupun kami kalah, maka kami akan kalah saat berdiri. Kami akan kalah dalam posisi perang,” katanya.

[Sumber Asli]